Zumrotul Choiriyah (Facebook)
Selalu masuk peringkat dua besar di kelas. Tekun mendalami Alquran. Kemiskinan tak membuatnya pasrah dan menyerah.
Dream - Rak reyot itu nyaris roboh. Kepenuhan. Puluhan buku nampak berjejal. Berebut tempat. Sejumlah buku tampak menumpuk di lantai.Malam itu, ditemani cahaya lampu berpenerangan rendah, mata gadis itu tetap terjaga. Membuka lembar demi lembar buku tebal yang sampulnya sudah terkoyak.
Ia begitu asyik melahap buku. Tak terasa kedua jarum jam sudah mengarah tegak ke atas. Menunjuk angka dua belas. Sudah masuk tengah malam.
Jalan di Desa Bangilan, Kabupaten Bojonegegoro, Jawa Timur, itu sudah lama sunyi. Hampir semua orang sudah berada di peraduan. Rasa kantuk juga mulai menyerang Zumrotul Choiriyah. Matanya mulai berkabut.
Sebelum menutup buku, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Zum, sapaan si gadis itu, bergegas membuka pintu. Di luar, sang ayah, Abdul Hamid, baru saja pulang.
Wajah pria setengah abad itu tampak layu. "Belum tidur Zum," tanya Hamid sambil menghela nafas panjang.
"Belum pak, masih belajar. Tapi sudah mau selesai. Bagaimana pak hari ini, banyak ya tangkapannya?” jawab Zum tersenyum.
Sambil menyelonjorkan kaki di atas dipan, Hamid mengaku jika hari ini tangkapnya sepi. "Lagi tidak banyak. Sudah tidak usah dipikirkan Zum. Rejeki tidak kemana. Yang penting kamu belajar saja. Soal biaya bapak akan cari," kata dia.
"Iya pak. Saya buatkan teh ya," kata Zum bergegas ke dapur.
Dalam hati, Zum menangis. Ia tak tega melihat sang ayah banting tulang sampai dini hari demi membiayai dia, adik serta ibunya.
Umur Hamid memang sudah masuk kepala empat. Sehari-hari ia berburu belut sebagai mata pencaharian. Kerja itu dia mulai dari lepas Maghrib hingga tengah malam. Bergelut di pematang sawah dan sungai kecil. Tapi ia tak segesit dulu ketika berburu belut. Kini hewan licin itu makin sulit ditangkap.
Penghasilan yang didapat juga tak seberapa. Kalau tangkapan banyak, Hamid biasa bawa pulang Rp 150 ribu. Jika tidak ada tangkapan, tak sepeser pun uang ia kantongi.
Kondisi itu memaksa Siti Hartatik Darwati (42), ibu Zum ikut menopang ekonomi keluarga. Dia bekerja sebagai tukang masak di perusahaan mebel.
Terenyuh melihat pengorbanan orang tuanya, tekad Zum kian bulat. Mencetak prestasi membanggakan buat orangtua. Dan yang terpenting: memutus rantai kemiskinan di keluarganya.
Walau hanya anak tukang pencari belut, mulai dari sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI), Zum terus mengukir prestasi. Dia selalu masuk tiga besar di sekolah. Kondisi itu berlanjut ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Dia selalu jadi juara satu dan dua di kelasnya.
Setelah lulus dari MA Abu Dzarrin, Zum mendaftar di Perguruan Tinggi yang ada di Surabaya dengan mengambil jurusan kebidanan. Sayang, ia gagal diterima di jurusan bidan, karena persaingannya sangat ketat.
Tak putus asa. Zum mendaftar di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, lewat jalur bidikmisi --beasiswa mahasiswa miskin berprestasi dari pemerintah. Ia mengambil Fakultas Dakwah, Jurusan Komunikasi.
"Awalnya saya sempat bingung soal biaya. Tapi orangtua bilang masalah biaya dipikir sambil berjalan. Yang penting kuliah," kata Zum bercerita kepada Dream.co.id.
Ia pun diterima. Di samping kuliah, Zum juga menimba ilmu di Pondok Pesantren An-Nuur Semarang dan menghafalkan Alquran. Dia mondok di sana.
Siang malam, gadis berhijab ini tak pernah letih belajar. Untuk biaya kebutuhan sehari-hari, Zum tak mau membebani orangtua. Ia putar otak untuk mengajar les di sana-sini.
Jika hari libur tiba, Zum baru pulang ke Bojonegoro. Saat berlibur pun, ia mengisi waktu dengan mengajar Taman Pendidikan Quran di desanya.
Di bangku kuliah, gadis kelahiran 1 November 1991 selalu meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi. Saat menjalani Kuliah Kerja Nyata, Zum mulai mengerjakan skripsinya. Dengan begitu ia bisa lulus kuliah lebih cepat.
Hari istimewa itu akhirnya tiba. Zum diwisuda bersama 1.114 mahasiswa program Sarjana, Magister dan Doktor di Universitas IAIN Walisongo, 6 Agustus 2014.
Ditemani kedua orangtuanya, Zum terkaget-kaget saat sang Rektor dalam sambutannya, menyebut nama dia sebagai wisudawan terbaik, lantaran mampu meraih nilai IPK 3,93.
Seisi ruangan pun bergemuruh. Mereka memberi tepuk tangan meriah buat Zum. Ayah dan ibu Zum tak kuasa menahan haru. Air mata keduanya tumpah. Mereka masih tak percaya anaknya jadi wisudawan terbaik.
"Alhamdulillah. Tidak menyangka bakalan terbaik se-UIN. Apalagi dengan saingan ribuan orang," kata Zum menirukan ucapan sang ayah.
Atas raihan tersebut, Zum mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah S2 di universitas-nya.
"Bapak saya pesan apapun yang diraih saat ini jangan sampai membuat kita sombong. Harus tetap rendah hati dan berprestasi," ujar gadis yang baru saja memiliki telepon seluler baru-baru ini.
Kini, Zum mulai memetik hasil manis dari kerja keras yang ia lakukan. Tujuan dia masih tetap sama, membahagiakan keluarga. Tak jadi bidan, Zum bersiap menjadi dosen. Ia tengah menyelesaikan studi S2 jurusan Ilmu Dakwah.
Apa yang dilakukan Zumrotul Choiriyah barangkali bisa jadi pelajaran penting soal kesungguhan di tengah keterbatasan. Dia membuktikan kepada kita semua, tidak ada halangan bagi anak dari keluarga kurang mampu untuk sekolah tinggi dan mencetak prestasi. Meski bagi anak seorang pencari belut sekalipun… (eh)
NO SARA, NO RASIS, Jika belum punya akun BLOGGER silahkan komentar dengan pilihan ANOYMOUS Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon